Senin, 28 Desember 2015

Untuk hidup dan kehidupanku

Suatu waktu aku pernah merenung..
Untuk apa aku hidup?
Mulai dari sekolah yang mengajarkan ku "menghafal" bukan berfikir tentang sesuatu yang baru.
Begitu banyak masa kecil yang tersita untuk belajar.
Dan mengejar gelar.

Dan aku akan menambah antrian para pencari kerja.
Lowongan…
Lowongan…
Lowongan…
Yap…
Setelah beragam tes, aku masuk dalam daftar karyawan…

Merintis karir dan profesionalisme.
Tenggelam dalam tumpukan mengerikan bernama "deadline".
Mabuk…
Kerja! Kerja!
Kemudian Gila!!!!!!!
Tapi,
Karirku menanjak, uang ku banyak!

Time flies...
Ada target baru disana.
Bertemu calon istri.
Arungi bahtera menuju mawaddah wa rahmah.
Mendapat amanah.
Ssst..
‘Aku, generasi penerus yang diidamkam…’

Mendaki tangga hidup bermasyarakat.
Memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Akulah ‘Bintang’ dimanapun bumi ku pijak.
Dan aku benar-benar menjadi kaya raya.
Tapi rasanya waktu terlalu singkat untuk memenangkan perang secara sempurna.

Ugh…
Mereka mengatakan aku tak ada apa-apanya.
Rasanya hampir gila.
“Mati, Mampus minum racun serangga!"
Tak seorang pun mau menemaniku.
Aku  menjadi sampah.

Kenapa waktu terasa begitu lambat saat ini?.
Gelap…
Semua berkabut.
Seperti mengejar ke-goblok-an.
Semua menyingkir.
Semua menjadi musuh.
Tinggal menunggu waktu.
Ketika saat yang dijanjikan itu datang.

Dari semua renungan ini…
Tuhan menegur ku.

Aku harus menikmati hidup.
Aku harus mencintai semua orang.
Menjadi pendengar yang tulus.
Memanfaatkan waktu se-cihuy mungkin dalam cinta dan persahabatan.
Mungkin juga banyak traveling.
Vakansi.
Masak yang enak-enak.
Berteman dengan penuh kehangatan.
Menambah porsi kasih sayang.
Berkirim dan menerima pesan.
Selalu bermusyawarah.

Sebenarnya aku dilema.
Tapi yakin saja, aku bisa!

Katakan apa saja, aku akan mencintai kalian semua.
Akan ku buat dunia tersenyum.
Membuat semua orang mau berbagi.
No stop sign, speed limit!
Waktu tak akan bisa mengehentikan ku.
Bahkan sekali pun aku telah pergi.

Dear you my friends..
“Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu raih, pergilah ke tempat yang ingin kamu kunjungi, kirimkan surat untuk orang-orang yang kamu sayang sesekali, jadilah seperti yang kamu mau, karena kamu hanya punya satu hidup dan kehidupan."

Dear you my friends…
Semoga kamu punya cukup kebahagiaan untuk membuatmu tersenyum.
Cukup ujian dan cobaan untuk membuatmu semakin kuat.
Cukup penderitaan untuk tetap membuatmu manusiawi.
Dan cukup pengharapan untuk menjauhkanmu dari kesedihan.

“Yaa Tuhan..
Berikanlah aku kecerdasan untuk melawati kehidupan-Mu yang aduhay ini. Hanya rahmat-Mu yang dapat menyelamatkan ku.

Amiin…”

Kamis, 24 Desember 2015

Aku pulang, bu...

Ibu mengajari ku mengembara. Pergi sejauh-jauhnya mencari makna. Mengeja setiap genap-ganjil dunia. Mengamati tingkah laku orang-orang yang baru ku temui, tentang cerita luar biasa yang mereka bawa. Tentang nenek tua yang suatu sore pernah membelah senja mencari cucu nya. Tentang bapak  yang kepayahan memikul beban di bahu. Tentang muda-mudi yang saling dekap lalu merentang pelukan dan berpagut ciuman. Tentang yang pergi lalu datang lagi. Juga tentang kehilangan tanpa salam perpisahan.

Ibu mengajari ku untuk berani melawan diri sendiri. Sepedih apapun luka dan duka, toh akhirnya jadi masa lalu juga. Seperti sebuah kisah menarik yang ku dengar dari bapak ku sendiri. Tentang senyumnya yang selalu sumringah. Meski kulit dibakar matahari, meski kaki berdarah-nanah 'demi anak-anak dan ibunya' semua tak ada apa-apanya', katanya.

Ibu mengajariku untuk kembali. Memberikan ku secarik peta agar aku tak lupa jalan pulang. Karena sejauh apapun kaki melangkah, rumah adalah tempat ternyaman untuk kembali. Untuk merebahkan kepala di pangkuan ibu sembari menceritakan kisah-kisah hebat yang kudapatkan selama mengembara. Menikmati sisa sisa usia dengan kedewasaan pikir dan kerendahan hati. Menjadi seorang sederhana yang mengenal betul siapa dirinya.

Bogor, Desember 2015

Rabu, 23 Desember 2015

Teruntuk kamu yang selalu mempertanyakan nanti

Aku pikir tuhan sedang ingin bersombong saat menciptakan kamu. Ia hadirkan alis mu yang tebal pada wajah oval mu, menggenapinya dengan kemilau matamu yang hitam sempurna dan hidung yang mancung (kata mu) :)) , lalu seolah tak ingin ciptaannya bisa dibandingkan dengan selainnya, Tuhan memberikan keajaibannya pada simpul senyummu yang menawan. Seperti melihat rona bulan pada langit hitam yang diam. Menakjubkan.

5 detik lalu, aku menatap wajah lelapmu. Kemudian dengan lembut kutepuk lututmu untuk meyakinkan mu, aku menjagamu. Mengerahkan sepenuhnya perasaan sayang melalui tepukan. Seandainya kau tahu, tiap kali tanganku jatuh pada lutut mu, tiap itu doa-doa kulafalkan agar kau selalu berada dalam pelukan. Sebut aku egois, atau orang yang tak tahu diri, tapi sungguh, aku selalu ingin menjadi satu-satunya milikmu, dan kau menjadi satu-satunya milikku.

Aku tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti nanti. Tapi yang pasti, aku akan selalu menjaga sebaik-baiknya apa-apa yang menjadi milikku sekarang. Berharap, di waktu mendatang sesuatu itu tetap menjadi milikku sepenuhnya; utuh tanpa rongga. Hal paling berharga itu adalah kamu. Sebab itulah, pada tiap waktu sebelum pejamku, aku selalu menghadirkan semburat wajah kamu. Tersenyum sambil berdoa, semoga Tuhan menjadikan kau sebagai teman hidupku. Kini dan nanti.

10 detik lalu aku menepuk lutut mu.
Dan saat ini.
Aku tak tahan, ingin memelukmu hingga pagi.
Dan, bila esok pagi kau terjaga dengan perasaan hangat menyelimuti.
Percayalah, aku tak pernah beranjak sejak kau terlelap.

Selamat malam, selamat memejam. Lelaplah dalam peraduan mimpi indah.
Esok, telah kusediakan peluk yang lebih hangat dari mentari pukul tujuh pagi.
Selamat tidur.

Pssst..
Maaf, kucuri pandang matamu sesaat pada  wajah manjamu.
Jangan marah, ya!

Selasa, 01 Desember 2015

Iga, Ema, dan perdebatan tentang nanti


"Ga, apa jadinya kalau nanti kita tak bisa terus bersama?"
"Kamu tak perlu membicarakan soal nanti yang belum tentu terjadi."
"Iya, tapi..."
"Tak perlu banyak tapi ma, tak baik untuk pikiranmu."
"Aku serius iga!"
"Pun aku ema!"
"Andai nanti semua itu terjadi, apa yg akan kamu lakukan?"
"Entah, berhentilah berandai-andai tentang nanti, aku menyayangimu. Sederhana bukan?"
"Maaf iga, aku hanya takut kita berpisah
"Kamu yang menciptakan rasa takut mu sendiri."
"Aku hanya tak ingin kita saling membenci pada akhirnya, ga."
"Ema, kita tak tau dan tak akan pernah tau apa yang akan terjadi esok, lusa atau nanti.
Jagalah apa yang kita punya sekarang, hanya itu yang bisa kita lakukan.
Hingga nanti tercapai semua tujuan yang kita inginkan.
Berdamailah dengan diri dan perasaanmu sendiri.
Semoga kita tak sedang berjudi ketika mencoba peruntungan tentang memilih hati."
"Pikiranku tak pernah bisa lepas dari pertanyaan ini,
setiap kali aku merasa bahagia bersamamu"
"Sudahlah ema, berhentilah memikirkan apa yang membuatmu takut.
Cukuplah kamu fokus dengan apa yang membahagiakanmu"
"Iga, aku hanya tak siap jika nanti aku benar-benar kehilangan kamu"
"Ma, kamu ini ngomong apa sih? Bahkan saat ini aku sedang bersamamu,
menikmati semuanya bersama-sama"
"Sebab itulah aku takut ga, takut saja jika nanti aku kehilangan kamu"
"Ema, aku memang tak bisa menjanjikan kamu apa-apa.
Tapi ini yang bisa aku sampaikan, aku menyayangimu dan itu sungguh-sungguh.
Maka sekuat tenaga akan aku upayakan untuk menjaga apa yang ada diantara kita
agar rasa tetap sama seperti pertama jumpa.
Akan ku kemas semuanya dengan rapih agar aku bisa menyayangimu setiap hari, lagi dan lagi.
Aku memang tak melulu membuatmu bahagia.
Tapi perkenankan lah aku untuk selalu menemanimu bagaimanapun keadaanya."
"Iga.."
"Ya?"
"Jangan pergi, ya?"
"Hey! ma, aku disini menjagamu dan tak akan kemana-mana"
"Tapi, ga.."
"Ema, berhentilah mempermasalahkan tapi.
Sederhanakan lah pikiranmu dan jalani saja semuanya, bebaskan keraguanmu.
Nikmatilah apa yang seharusnya kita nikmati sekarang.
Ketakutanmu lah yang justru akan menghancurkan dirimu sendiri.
Mulailah menyayangiku tanpa perlu berdebat soal nanti.
Dan aku akan selalu menyayangimu tanpa tapi.
Karena semua yang kita lakukan adalah tentang hari ini. Bukan nanti."
"Entahlah iga, aku hanya..."
"Tenanglah sayang..."

Lalu iga meletakan ciuman di bibir perempuanya.
Mengulumnya dengan gentle hingga lidahnya pun terpagut
dan menyentuh langit-langit mulut ema.
Dia membiarkan ema memejamkan matanya
seraya membiarkan sesuatu bergejolak didalam dadanya.

"Membuatmu diam jauh lebih baik
dari pada harus bergelut tentang perasaan.
Terlebih tentang nanti yang tak perlu kamu takuti."

Gumam iga dalam hati..

Jumat, 27 November 2015

Deru rindu dan doa yang tak pernah putus

Saya pikir Gump sedang tidak mengada-ada saat dia bilang
"What's normal anyways?" Apalagi saat jatuh cinta begini,
rasanya seperti menemukan kembali remah-remah roti
yang sudah lama berserakan di kolong meja makan.

Ini tentang dia, iya dia.
Perempuan saya.
Saya mengenalnya lewat berjuta-juta aksara di lini masa jagat maya.
Di antara deru sajak-sajak puitis.
Diantara elegi-elegi puisi yang menangis kesepian.
Namanya muncul sebagai sesuatu yang tidak pernah saya duga.
Dia tidak mencari namun mencuri perhatian, licik memang.
Dia sederhana dan bersahaja namun bukan ustadzah,
ayu dan menarik namun bukan kembang desa.

Sekali waktu pernah saya melihatnya begitu manja,
seperti anak kecil yg tak mau beranjak dari ketek bapaknya.
Namun, di lain waktu dia bisa menjadi
perempuan yang sangat tangguh dan mandiri,
memperjuangkan haknya untuk berbahagia,
dia indah dengan caranya.

Ini tentang dia, iya dia.
Perempuan saya.
Yang memiliki keteduhan dalam hatinya,
rumah yang selalu jadi tempat saya pulang dan bermanja-manja.
Tempat mengubur rindu yang sudah membiru lebam dalam pelukanya.
Teman saya bilang bahwa membuat wanita tertawa adalah cara yang ampuh
untuk membuatnya jatuh cinta, tapi saya tidak.
Justru saya yang dibuatnya jatuh ketika dia tertawa.
Ada sesuatu, entah apa namanya
yang membuat saya betah memalang waktu,
menatapnya berkali-kali selama mungkin.

Selain ibu, dia perempuan paling cerewet bila saya ceroboh
atau teledor akan sesuatu hal yang remeh sekalipun.
Seolah hidupnya tak tenang bila melihat saya buang sampah sembarangan,
atau tak kuat bangun pagi.
Damai segera pergi bila saya lupa menyikap rambut yang acak-acakan,
tanganya gatal seolah ingin menguntingnya sampai botak.
Dia seperti definisi dari kata teliti.
Tapi dia bisa jadi begitu lembut,  ketika memupuk kepala saya.
Saat segala sesuatu berubah jadi chaos, menyebalkan dan memusingkan,
senyumnya menjadi satu-satunya hal paling rasional yang saya punya.

Dia perempuan yang sabar dan menyabarkan,
seorang yg tangguh lagi menangguhkan.
Dia selalu mau memaafkan dan memberi lagi kesempatan,
meski saya tau sebenarnya ada begitu banyak kesalahan yang saya lakukan,
entah saya sengaja atau tidak. Dia selalu mau memberi saya waktu untuk memperbaiki diri.
Dia tak pernah mau mengungkit kesalahan,
karena baginya memaafkan adalah melupakan.

Ini masih tentang dia, iya dia.
Perempuan saya.
Wanita yang cerdas. Bagi saya, hatinya
adalah gegap gempita pasar malam paling mesra di dunia.
Kepadanya lah saya tersesat dengan sukarela,
menjadi seoarang anak yang sangat riang bermain
hingga tak ada pikiran untuk pulang.

Ini masih tentang dia, perempuan saya.
Seseorang yang selalu mampu menerjemahkan
isi kepala saya yang penuh dengan begitu banyak
rencana gila dan ide-ide mustahil.
Dia tak pernah bosan mendengarkan saya bercerita.
Dia mampu membuat saya menjadi lelaki hebat
saat saya menjadi diri sendiri.
Dia tak mau mengeluh meski sebenarnya
apa yang saya bicarakan itu
basi dan membosankan.
Dia mengerti bagaimana cara memuliakan seorang lelaki.

Ini tentang kamu, Syahda Gema Vidya.

Seseorang yang selalu bisa membuat saya jatuh cinta lagi dan lagi.

Terimakasih untuk kesekian harinya yang penuh cerita. Mari menghitung lebih banyak lagi untuk waktu yang akan datang.
Tetap jalan beriringan ya?
We flow like we know..

Bogor, November 2015

Sabtu, 14 November 2015

Aku TIdak Bermaksud Memarahimu

Aku tidak bermaksud memarahimu. Aku pernah begitu takut melihat alis mu meninggi dan sorot mata mu berapi-api, aku tak ingin melihat mata itu seolah kamu mengisyaratkan aku tak pantas ada di depan mu karena telah memarahi mu. Aku beri tahu diriku sendiri bahwa bukan maksudku memarahimu, aku sudah kehilangan kamu yang saat itu menyayangiku.

Aku tidak bermaksud memarahimu.
Aku tidak ingin kamu larut dalam benci akibat prasangka buruk yang terus datang silih berganti. Meniadakan kasih sayang yang selama ini terjaga dengan baik, atau mengasingkan sosok ku seperti tak pernah kamu kenal sebelumnya. Sekali lagi,aku kehilangan kamu yang saat itu menyayangiku.

Aku tidak bermaksud memarahimu.
Tapi suatu waktu, aku bisa saja salah. Melakukan hal bodoh yang akhirnya membuat kamu badmood dan kesal. Menjadi lelaki paling mengesalkan yang membuat kamu ingin gumoh. Sampai pada saatnya, fase itu datang lagi, fase dimana kamu akhirnya memutuskan untuk benar-benar benci. Aku kehilangan aku yang saat itu terlanjur berjanji.

Aku tidak bermaksud memarahimu.
Aku terus berusaha membayangkan kamu untuk tetap lucu dan baik - baik saja. Lalu siapa yang sangka, aku yang terlajur berjanji ini tak melulu mampu memenuhi ucapanya sendiri. Apa ada orang yang menyesal selain aku? Aku rasa tidak, sebab aku gagal untuk mencoba menjadi orang yang menyenangkan dan mengimbangimu.

Tapi, percayalah. Pada tiap-tiap keterbatasanku, aku tidak bermaksud memarahimu.

Bogor, Nov 2015
Agi.

And i could die to find a simple kind of love you can't deny

"Hati ini luas, kamu bebas tinggal dimana pun di dalam sini dan bisa aku pastikan, kamu tidak harus berbagi dengan siapa pun."

Ada satu bintang paling terang di ujung  langit sana, ketika tak ada lagi jarak untuk memandang. -- aku lupa nama bintangnya. Supir kapal sempat menyebutkannya tapi bodohnya aku luput mencatat, setelah ini mungkin aku akan browsing, "Sang pemandu jalan pulang". Peduli apa soal cuaca? Tak masalah segelap apa malam, apalagi hanya semilir angin berhembus..
Bintang itu akan selalu terang di singgasana nya, seolah menegurku dengan segala keteduhan dan keunikannya "kemarilah, jangan cemas, aku bersamamu, ikutilah cahayaku, niscaya akan kamu temui jalan pulang".

Aku disihir cahayanya, seperti kemudi kapal yang patuh pada arah putarannya, dan nelayan yang tersesat ini meng-iyakan semua komandonya, mengikuti kemana cahaya itu pergi agar dapat pulang tanpa takut ada ombak besar yang siap menenggelamkan.

Dalam cinta, aku bukanlah nelayan yang paham kapan angin baik datang untuk melaut. Hanya musafir yang sering kali kebingungan dan hilang arah. Tapi kini aku punya bintang ku sendiri, sinarnya terang tapi tidak menyilaukan. Bersahaja dengan segala keluguan dan ketabahannya.

Kini, apa masih perlu aku mencari nya lewat internet untuk sekedar mengetahui nama bintang itu? Ketika aku sudah teramat kenal Dan paham, bahwa sebenarnya bintang yang selalu jadi arah tujuan ku pulang adalah kamu.



Bogor, 14 November 2015
Agi